Blog Mom Pembelajar

Cerpen : RIUH RINDU

Posting Komentar

 RIUH RINDU

Oleh : Asih Drajad Lumintu

Cerpen: Riuh Rindu

Rinai baru turun, saat senja tanpa pelangi jingga menyapu langit kelabu. Hatta, seorang lelaki paruh baya tiba di musala pinggiran timur kota Metropolitan. Perawakan tinggi kurus, muka bersih, dan rambut masai itu bergegas masuk tempat wudu. Napas tersengal-sengalnya, mengguratkan lelah sehabis perjalanan jauh. Debu yang menempel kemeja lengan panjangnya, dibersihkan dengan percikan air keran. Lantas ia berwudu, dan menyisir kusut rambut ikalnya dengan jemari tangannya. Rona wajahnya berseri riang.

Setengah berjinjit, Hatta masuk musala. Cat cream dindingnya kurang terawat, memudar dan mengelupas di sana-sini. Pandangannya tajam memutar sekeliling ruangan. 

“Masih belum berubah ...," gumamnya pelan.  Diambilnya sajadah yang teronggok di pojok ruangan, dan digelar persis di tengah saf depan. 

“Allahu Akbar ...," lirih terdengar takbirnya. Sejurus, sosok itu larut dalam lantunan doa khusyuk.

*

Jarum jam dinding musala tidak juga bergerak sejak Hatta di sana.

“Baterainya mungkin soak, atau jamnya yang rusak?. Ah, jam berapa sekarang?" tebaknya membatin. 

Gelap perlahan turun, diiringi derai hujan deras di luar musala.

“Ah, di mana orang-orang kota sekarang salat?. Senja merangkak pekat, tetapi belum seorang pun jemaah salat, tiba di musala ini," lirihnya heran.

Bayangan kejadian tadi pagi berkelebat di benak Hatta. 

“Maafkan Mbak Ris, adikmu terpaksa kabur meninggalkan rumah itu,” jerit hatinya. Rumah kontrakan yang baru ditempatinya belum genap seminggu, setelah ia bebas.

“Ya, kini aku bebas,” sorak hatinya lega. 

Perjalanan ini, menggetarkan hatinya, setelah nyaris 23 tahun, ia tidak melihat selain kamar sepinya dulu. Ruang tempatnya berobat dari penyakit menahun. Entah penyakit apa ini, ia pun tak tahu. 

Orang bilang, ia depresi menghadapi kenyataan hidup. Namun, ada yang menebak, ia kesurupan dirasuk jin, lantaran kerap menjerit-jerit, dan melompat tak beraturan.

Sejatinya, tak banyak yang diingat Hatta. Kebebas dirinya, sudah membuatnya gembira. Perawat rumah terapinya menyebut, kini ia telah sehat, maka boleh pulang ke keluarganya.

Gun, adiknya, dan Mbak Ris, menjemput Hatta saat itu. Mereka menyiapkan rumah kontrakan buat Hatta, tak jauh dari rumah Mbak Ris.

“Jalani hidupmu dengan tenang ya, Dek. Urus dirimu saja. Tak usah pikirkan yang lain,“ terngiang nasihat Mbak Ris.

Tadi, saat Hatta memberanikan keluar rumah kontrakan, kegugupan menyergapnya.

“Ke mana kaki ini akan dilangkahkan?" 

Akhirnya ia cuma mengikuti pandangannya, mencari keramaian. Menunggu angkot yang membawanya ke rumah kenangan. Ia tak peduli, lalu lalang manusia yang sesekali lekat menatapnya.

Sepanjang perjalanan, ia mengira-ngira batas pemberhentian ia harus turun. Deretan gedung baru kota Metropolitan di kanan kiri jalan, sekarang begitu asing. Hatta hanya berpatokan, satu halte sebelum terminal terakhir, ia harus turun. Itu yang diingatnya. 

“Aku harus bertemu Sisi.” Pandangan kosong mata Hatta, seolah menatap perempuan yang dicintainya. 

“Hatta, datanglah ke rumah orang tuaku, jika kamu serius.”  Tulis surat Sisi dulu. Berkelebat bayangan episode kenangan tanpa diundang bergonta-ganti di benak Hatta. 

Lelaki pemalu, baik, dan lembut hati adalah julukan yang melekat padanya. Hatta menepati janji dalam akad nikahnya dengan Sisi. Namun, itulah awal keanehan yang dialaminya.

“Bu, aku tak bisa mendengar apa-apa,” keluh Hatta berbisik ke telinga ibunya.

Ibu Hatta yang menemani akad nikah Hatta terpaku. Mata tua itu berkaca. Firasat buruknya, kini menghantuinya. Segera ditepis rasa gelisahnya dengan isyarat menadahkan tangan, meminta Hatta untuk berdoa.

“Duh Gusti paringono kuat ...,” bisik ibu Hatta.

Janda yang berjuang menafkahi ketiga anaknya, sejak Hatta belum balig itu menarik napas panjang. Lantas mengembuskan udaranya perlahan lewat mulut, sekadar mengusir gemuruh dadanya. Kini perempuan itu risau. Dipandangi Hatta yang tertunduk di depan penghulu.

“Anakku Hatta lembut hatinya, pantang dikasari. Ucapan kerasku saja sudah membuatmu demam seharian,” batin ibu. 

Mengingat saat lamaran dulu, perasaan ibu semakin gundah. “Anakku belum tamat kuliah.”

Terbayang kerja serabutan yang akan dilakoni Hatta, buat mencukupi rumah tangganya. Ibu cuma membisu, saat Hatta menjawab pertanyaan keluarga Sisi, di mana ia bekerja.

"Meskipun Sisi tersenyum, tetapi abang iparnya, bang Ipan itu tidak,” cetus ibu ketika pulang lamaran. Bang Ipan justru memamerkan dirinya, menantu terbaik di keluarga Sisi," keluh Ibu.

*

Sorak anak-anak masuk musala, membuyarkan lamunan Hatta. Akhirnya datang yang ditunggu. Saf jemaah salat Magrib didominasi anak-anak yang sesekali berceloteh, meski Imam selesai bertakbir di rakaat pertama. Nostalgia masa kecil Hatta timbul- tenggelam di benaknya. Begitulah ia dan Gun, adiknya dulu, berlomba tiba paling awal, tepat azan berkumandang di musala. Hatta kerap menang, tiba pertama di saf depan. Keduanya tumbuh besar dengan karakter berbeda. Gun mudah bergaul, dibanding Hatta yang kalem

Rasa rindunya telah membuatnya sampai di sini. Bukankah obat rindu hanyalah berjumpa dengan yang dirindukan. Sebagaimana Bilal Bin Rabah pernah bersyair, mengobati rindunya pada kota Makkah. 

"Akankah aku lalui malam di suatu lembah yang penuh dengan pohon Idzkir dan Jalil. 

Mungkinkah pada suatu hari, aku akan dekati air Majinnah. Dan akankah tampak olehku gunung Syamah dan Thafil? "

Kerinduan melolong, kerap terungkap sang perindu melalui untaian syair dan doa yang terlantun. Hanya jiwa pemendam rindu, kerap mengabaikan riuhnya.

*

Hatta duduk terdiam di sudut musala. Sang imam sudah berlalu, dan saf sepi kembali. Hujan  mereda. Hatta beranjak meninggalkan musala menuju rumah kenangan masa kecilnya. Setelah melewati jalan kecil, berdiri rumah antik mencolok, membedakan dengan rumah lainnya. 

Rumah beratap sirap kayu ulin. Mendiang ayahnya, suka gaya rumah kokoh, bertiang beton buat menopang rumah tingkatnya.

Kesunyian malam merambat. Rumah itu tegak berdiri di depannya. Namun, penghuninya bukan lagi keluarganya. Firasatnya menebak, Ibu sudah meninggal, saat Mbak Ris tak menjawab pertanyaanya dulu. Riuh rindunya, menyisakan tetes bening di ujung mata, dan perih sesak di dadanya. 

“Aku mesti bertemu Sisi, dan anakku.”  Bergegas ia meninggalkan rumah kenangannya. Bus luar kota membelah malam, membawa Hatta menuju rumah mertuanya.

*

Mbak Ris heboh, Hatta menghilang dari rumah kontrakannya. Bolak-balik ia menengok ke luar, berharap Hatta muncul. Tetap nihil. Gun yang dihubungi langsung menebak ke mana abangnya pergi. Diteleponnya pak Sani, tetangga rumah kenangan dulu. Sayang terlambat, Hatta sudah menghilang.

“Ke rumah orang tua Sisi,” tebak Gun mengontak Fani. Keponakannya itu, diminta bersiap menyambut kepulangan ayahnya.

Fajar pagi menyapa bumi, saat ketukan pintu ruang depan membangunkan Fani, anak Hatta. Di luar ayahnya tegak, menepis gigil dengan balutan jaket di tubuh kurusnya. Dulu, Fani sering menjenguk ayahnya saat pengobatan. Dibimbingnya ayahnya masuk rumah. Sekejap teh manis hangat kesukaan ayahnya sudah siap terhidang.

Penuh kasih ditatapnya mata ayahnya yang berkaca-kaca, tersenyum bahagia.

“Momen yang tepat, " bisik Fani.

Sebulan lagi, ia akan menikah dengan lelaki pilihannya. Ia berharap ayahnya menjadi wali nikahnya. Tiba-tiba meluncur tanya ayahnya,

“Bunda di mana?.”

Fani terdiam, seolah-olah tak mendengar pertanyaan itu.

“Fani bereskan kamar Ayah dulu ya," kelitnya menunjuk kamar di tengah ruang keluarga.

“Duh, bagaimana aku menjelaskan rahasia yang belum ayah ketahui?. Bunda tak lagi di sini. Lima tahun setelah ayah berobat, bunda tinggal di rumah nenek, dan menikah turun ranjang dengan paman Ipan, lantaran isterinya meninggal,” gusar Fani.

*

Berita Hatta dirawat lagi di rumah terapi, benar-benar mengejutkan Mbak Ris, dan Gun.

“Bagaimana bisa?. Bukankah Hatta sudah sembuh?” protes Mbak Ris kesal, tak bisa berbuat apa-apa.

Keputusan keluarga besar Sisi sudah bulat. Hatta dibawa berobat kembali ke rumah terapi mental, jauh dari kota tempat tinggal anaknya.

Pagi ini, daun-daun di pekarangan rumah rawat berguguran. Sepi berbalut dingin yang menyapa, dan menembus kulit Hatta, kali ini berbeda dari biasanya.

“Apa yang salah dengan makanan yang kumakan tadi malam?" tanya Hatta dalam hati. Perutnya melilit bagai ditusuk, membuatnya kepayahan meregang sakit.

“Bismillah, aku harus kuat, dan sembuh. Sebentar lagi, aku akan berjumpa denganmu Sisi di akad nikah Fani anak kita,” senyum getir itu menahan sakit.

Riuh rindu semakin menjerit, menyelingi lirih tahlil yang melantun di mulut Hatta buat mengusir sakit perut yang semakin perih. Terdengar jelas ucap syahadat, mengiringi kelopak mata yang menutup tenang selamanya, tepat sebelum azan Subuh berkumandang di rumah rawat itu. ***



Related Posts

Posting Komentar