Oleh : Asih Drajad Lumintu
”Pergi…pergi..jika itu maumu…,” sendu sedan tangisnya pecah, menjelang azan Magrib.
Riuh rendah suara anak-anak mengaji di surau, mulai terdengar. Sebentar lagi salat jemaah akan segera di mulai. Sumi bergegas ke ujung jembatan, menemui perempuan itu. Dihapusnya bulir air di ujung matanya. Gejolak sedih, sayang, kasihan, bercampur kecewa, berpendar di dada setiap kali mengajak adiknya kembali pulang.
“Ayo, Tin, kita pulang. Hari sudah malam,” bisik Sumi sambil memeluk adiknya.
Perempuan yang dipanggil Tin, tergugu-gugu. Gurat harapan terpancar dari sorot mata.
“Tapi… tapi Mas Tato belum datang, Mbak. Aku mau menyambutnya di sini,” desah Tin tersenyum tawar.
“Semoga besok Mas Tato-mu kembali,” ajak Sumi menuntun adiknya, meninggalkan jembatan.Berdua mereka menyusuri jalan setapak, ditemani gelap yang mulai turun.
*
Sumi menyeka muka adiknya dengan air sejuk. Menyisir rambut panjangnya yang terurai lurus.
“Rambutmu Tin, persis rambut Emak kita,” lirih Sumi.
Tin tidak bergeming, asyik memilin-milin handuk di dekatnya. Sejak peristiwa itu, bahkan Tin tidak lagi peduli mengurus dirinya. Sepi malam menggurat di sela dinding rumah warisan tua itu. Sejak Ami, anak Tin merantau ke kota, mereka tinggal berdua saja.
“Sudah sepuluh purnama belum juga ada kabarmu, Ami?, ” keluh hati Sumi.
Bulan depan usia Tin genap empat puluh lima tahun. Berarti sudah hampir setahun Tin menunggu Mas Tato pulang. Sekelebat sosok lelaki berperawakan tinggi besar, hadir dalam bayangan Sumi. Mas Tato, lelaki yang namanya tetap tersimpan rapi di hati Sumi. Tidak ada orang yang tahu perasaan itu termasuk Tin, adiknya, bahkan Mas Tato. Perasaan yang dipendamnya sejak dulu. Sumi berhasil menyembunyikan gejolak cinta itu. Bertepuk sebelah tangan. Menunggu dalam kesunyian, tanpa pernah terucap dan tertanda dalam tingkah laku Sumi terhadap lelaki itu.
Mas Tato, teman sepermainan Sumi. Sewaktu kecil sepulang sekolah, mereka berdua kerap beriringan riang menyusuri pematang sawah. Mengejar burung-burung kecil yang berterbangan di padi yang mulai menguning. Jika salat tarawih usai, Sumi kecil ikut tadarus Alquran diajar Wak Haji Sabeni, iman surau kampung bersama mas Tato, dan anak-anak kampungnya. Kegembiraan masa kecil Sumi kembali menari-nari di relung kenangannya.
Sebenarnya bukan hanya satu, dua lelaki yang mencoba meminang Sumi. Namun, semua yang mendekatinya akhirnya mundur. Sumi tidak berkenan meresponnya. Sampai-sampai orang kampung banyak berbisik, “Kasihan Sumi memilih jadi perawan tua.. “. Sewaktu mas Tato menikahi Tin adiknya, Sumi berjuang mati-matian mengatur rasa. Antara senang, sedih, menyesal dan kecewa. Beruntung, sayangnya kepada adiknya berhasil memenangkan rasa perihnya terhadap Mas Tato. Rahasia itu berhasil ia sembunyikan, tidak ada seorang pun yang tahu cintanya yang terpendam pada lelaki itu.
Setahun sudah berlalu. Kabar Mas Tato yang pergi berlayar, belum ada kabar beritanya sampai sekarang.
“Hmm di mana kini Mas Tato berada…?, “jerit Sumi
*
Dulu Tin berkeras, menahan kepergiaan mas Tato.
“Bang Jay mengajak Mas bantu-bantu angkut muatan barang kapal. Semoga ada rezeki kita di sana,” pamit Mas Tato ke Tin.
Tin menghapus butiran air mata. Tenggorokan tercekat, tak mampu berkata lagi. Sungguh, kerja serabutan pun akan dilakoni Mas Tato. Setelah toko kelontongnya habis dimangsa si jago merah, tidak ada barang dagangan yang tersisa, hingga akhirnya pemasukan keuangan keluarganya terpuruk. Meski berusaha tegar, ternyata jiwa Tin meronta, tidak kuat menghadapi ujian yang datang bertubi-tubi. Kehilangan adalah kesedihan yang mendalam baginya. Lamanya penantian yang tak kunjung selesai. Setahun sudah Tin menunggu kabar Mas Tato. Dan perilakunya perlahan mulai berubah. Terkadang, Tin berceloteh sendiri, bersenandung, diiringi tertawa, dan akhirnya menangis tersedu-sedu.
*
“Woii, awas ada orang stress lewat!,” riuh sorak sorai anak mengiringi kedatangan Tin saat melintasi jalan kampung. Mata Tin membalas tajam pandangan itu. Seketika, anak-anak berpencar lari ketakutan. Senja mulai turun. Suara gemericik air di bawah jembatan membawa Tin memasuki kenangan indah bersama Mas Tato. Berdua menyusuri jalan berlumpur di pinggir sungai. Memetik bunga liar dan mengalungkannya di leher Tin, adalah rekaman episode indah yang berputar dalam memori Tin. Tin tersenyum sebentar, lalu menangis, dan melolong.
Kentongan ronda dipukul tiga kali. Sumi bergegas mengambil wudu. Dingin air sumur menusuk kulit mukanya yang mulai mengendur. Menggelar sajadah di pojok kamar, ia khusyuk berdiri salat, dan zikir panjang di seperempat malam terakhir.
“Duhai Allah, Zat Yang Maha Perkasa, hanya kepada-Mu hamba memohon. Kuatkan hamba-Mu ini, dan Tin, adikku.” Tak lupa, terselip doanya khusus untuk Mas Tato, agar selamat di manapun ia kini berada.
Cahaya fajar menerobos jendela rumah tua itu. Hujan semalam, menyisakan genangan air di halaman belakang. Bergegas Sumi menyiapkan dagangan nasi uduknya. Sebentar lagi irama pasar akan berdenyut dalam keramaian rutin. Disempatkannya menengok kamar Tin. Adiknya masih tidur nyenyak berselimut kain panjang. Terngiang pesan almarhumah emak, “Adikmu itu jiwanya tidak sekuat kamu, Sumi. Tolong jagalah Tin baik-baik, Nak…”.
Sejak kepergian Mas Tato seluruh kebutuhan hidup Tin menjadi tanggungan Sumi. Ami anak Tin merantau jauh ke kota seberang, mengikuti kebiasaan pemuda kampung ini. Kesibukan menggarap padi di sawah, tak lagi menarik dan menantang anak muda kampung itu.
*
Kini, orang kampung semakin ramai bertutur kebiasaan baru Tin di ujung jembatan. Kisah penantian perempuan itu menjelang datang senja. Kerepotan Sumi mengurusi adiknya membuat iba orang kampung. Di antara mereka mengusulkan agar Tin dipasung saja. Sebagian lain, membujuk Sumi membawa Tin ke dukun kampung. Dan entah apa lagi, banyak saran penduduk kampung yang disampaikan ke Sumi. Namun hanya senyum Sumi sebagai jawabannya.
“Adikku ini, cuma butuh waktu untuk menguatkan jiwanya,’ bisik hati Sumi. Ia pun berupaya menghubungi teman-teman Mas Tato, dan memohon bantuannya jika mendengar informasi keberadaaan mas Tato.
Berita koran pos hari ini viral, dan ramai jadi perbicangan hangat orang di pasar. Tenggelamya kapal barang yang menuju ke kampung dini hari tersebar cepat. Kabarnya, tidak ada satu pun awak kapal yang berhasil selamat. Semuanya hilang digulung badai dahsyat. Sumi menggeleng dalam hati. Ia berharap ada keajaiban Allah dalam musibah kapal itu. Ia menarik napas, berpikir keras bagaimana cara terbaik menyampaikan kabar buruk ini ke Tin, adiknya.
Semburat jingga senja perlahan bersolek. Perempuan itu datang kembali. Menantap tajam ujung jalan kampung. Sesekali menengok ke arus tenang air sungai di bawah jembatan. Tembang senja berputar kembali menemani sepi jiwanya. Memori masa kecilnya memanggil, bergandengan dengan indah alam pelangi senja.
Perjalanan hidup manusia terus mengalir. Menyusuri lorong suka dan duka. Tidak ada yang tahu kapan akhir perjalanannya dan di mana. Namun Tin, perempuan berselendang panjang itu telah menemukan dirinya. Setia dengan janjinya. Orang boleh menyebutnya perempuan kurang akal, lemah jiwa, dan depresi. Namun sejatinya, kesetiaannya menanti di ujung jembatan kampung. hingga gelap turun adalah ungkapan cinta tiada tara Kekasihnya mungkin menghilang. Namun, senja akan setia menjumpainya setiap hari tanpa jemu.
***
Posting Komentar
Posting Komentar